Barisan riff repetitif pencuci otak, refrain melengking pemantik koor
massal, hingga balada picisan pengiris hati, adalah tiga hal yang
sebenarnya bisa dengan mudah kita temukan pada rilisan-rilisan The SIGIT
yang terdahulu. Sekilas memang seperti tak ada hal baru yang ditawarkan
oleh Detourn. Untungnya, empat pemuda dalam tubuh The SIGIT tahu persis bahwa tujuh tahun – terhitung sejak tahun dirilisnya Visible Idea of Perfection
– adalah durasi waktu yang terlalu lama untuk dihabiskan demi sebuah
album yang sia-sia. Dan memang, di balik formula yang sebenarnya tidak
jauh berbeda, Detourn tetap saja menyimpan sejumlah kejutan pada momen-momen yang tak terduga.
Langsung tancap gas sejak awal, Detourn dibuka dengan
“Detourne” yang meminjam nuansa agung nan angker ala gereja setan lewat
sempalan bunyi (sepertinya, sih) organ di bagian awal lagu ini.
Munculnya tiupan saxophone pada pertengahan lagu, adalah kejutan
menyenangkan yang seketika menyeret lagu ini, dari yang awalnya garang,
ke dalam wujud yang lebih sensual. Lagu kedua, “Let The Right One In”
terdengar bagai serpihan materi sisa dari era Visible Idea of Perfection.
Singkat kata: The SIGIT rasa lama. Dipilihnya lagu ini sebagai single
perdana, sepertinya memang sengaja diset sebagai jembatan sebum jidat
fans mengkerut saat mendengar sajian eksplorasi yang terbentang di
lagu-lagu berikutnya.
Jika Visible Idea of Perfection punya “Nowhere End” atau “All The Time” sebagai tempat rehat sekaligus penggelitik sisi melankolis anda, maka Detourn
punya “Owl and Wolf” dan “Ring of Fire”. “Owl and Wolf” – meski
durasinya terasa terlalu panjang hingga agak membosankan – adalah
tipikal lagu syahdu yang bisa membuat para manusia tanpa pasangan gigit
jari. Sedangkan “Ring of Fire” seolah seperti ekstraksi dari hasil
perenungan melelahkan tentang nasib sial negeri yang sepertinya tak
henti dihujam bencana ini.
Sementara itu, “Tired Eyes” dan “Conundrum” adalah dua yang akan saya
ajukan jika ada yang bertanya tentang lagu mana yang paling mencuri
perhatian saya. Dimulai dengan vokal Rekti dalam format backmasked,
“Tired Eyes” punya refrain yang cocok digunakan untuk berjoget ditengah
lautan manusia yang tengah berheadbang. Dua menit terakhir saat “Tired
Eyes” dibabat habis dari tengah hingga akhir, adalah dua menit terbaik
yang bisa anda dapatkan dari album ini. Jika telinga anda butuh
ejakulasi, saran saya, lakukan di dua menit ini.
Sedangkan “Conundrum”, adalah bayaran lunas jika sepuluh lagu sebelumnya
belum juga mampu memenuhi birahi musikal anda. Seolah datang dari
beberapa bagian lagu berbeda lalu dirangkai menjadi sebuah lagu yang
sama sekali baru, sulit untuk tidak menyebut “Conundrum” sebagai nomor
paling segar sekaligus yang terbaik di album ini. Kecuali jika anda
memang tak punya hati, nyaris mustahil untuk tidak terenyuh saat Rekti
meratap,“How could you say you paid attention..Yet keeping same mistake..”
Sadis.
Jika komposisi musik yang catchy nan gurih di telinga serta eksplorasi
musikal yang liar adalah dua kutub yang saling bermusuhan, maka Detourn
adalah bentuk kompromi yang berdiri tepat diantara keduanya. Sebuah
keputusan yang meski sangat bijaksana, namun juga berpotensi menimbulkan
rasa kecewa bagi sebagian fans yang berharap band idola mereka itu
punya kejelasan lebih dalam mengambil posisi.
Tapi toh, pada akhirnya memang tak ada gading yang tak retak. Bahkan untuk gading yang bersepuh emas sekalipun. Detourn, adalah gading bersepuh emas yang saya maksud.
*Versi asli artikel ini dimuat di Deathrockstar.info
DETOURN By The Super Insurgent Group Of Intemperance Talent
Genre: Rock, Psychedelic rock, Experimental
Rilis: 2013
Label: FFWD Records
Rating: 4/5 (Rolling Stone)
DETOURN By The Super Insurgent Group Of Intemperance Talent
Genre: Rock, Psychedelic rock, Experimental
Rilis: 2013
Label: FFWD Records
Rating: 4/5 (Rolling Stone)
No comments:
Post a Comment